Rabu, 12 Desember 2007

CORPORATE SOCIAL RESPONSIBILITY (CSR)
UNTUK PEMBANGUNAN CITRA PARTAI POLITIK

Oleh :

Agus Naryoso[1]

Abstraksi

Peta persaingan dalam area politik Indonesia menunjukkan tingkat kompetisi yang tinggi hal tersebut disebabkan karena system multipartai dalam politik nasional dan semakin berkembangnya iklim demokrasi. Kondisi tersebut menciptakan konsekuensi partai politik agar mempunyai strategi komunikasi yang paling efektif untuk mendapatkan dukungan public yang besar. Kegiatan Corporate Social Responsibility adalah bentuk kegiatan komunikasi yang mempunyai manfaat sangat besar bagi pembangunan citra partai politik. Kegiatan tersebut akan berhasil dengan baik bila dilakukan dengan mengusung prinsip keberlanjutan, terencana dan terprogram serta mendukung pembangunan berkelanjutan. Setelah kegiatan Corporate Social Responsibility ditetapkan perlu bagi partai politik untuk mengkomunikasikan kepada khalayak yang lebih luas sehingga akan membangun persepsi dan tingkat kepercayaan yang lebih tinggi kepada partai politik sehingga terbangun reputasi dan citra yang baik.

Keyword : Politik, Citra, Corporate Social Responsibility

Abstract

Political Competition in Indonesia shows strong level of competition. This is due to the multpartit system applied in Indonesia and the risk for democrcy climate. This condition bring of consequency that political party should have an effective communication. Strategy to get public support. Corporate Social Responsibility is one of a communication. Activites that has a huge impact toward the development of political parties’ image. This Corporate Social Responsibility activities will be effective only it is conducted using a continuity integrated an sustainable principle. However after the implementation of Corporate Social Responsibility it is necessary for political parties to keep communicating thr result to the public in order to build a hire of trust and positive image.

Keyword : Politic, Image, Corporate Social Responsibility


Pendahuluan

Perkembangan demokrasi di Indonesia menunjukkan kondisi yang sangat pesat, hal tersebut ditandai dengan semakin terbukanya kesempatan bagi setiap masyarakat untuk dapat berpartisipasi dalam politik secara lebih terbuka. Partisipasi tersebut dapat dilakukan dalam bentuk kebebasan mengemukakan pendapat serta kebebasan untuk menyampaikan atau mengaspirasikan hak politik rakyat kepada partai atau kepada individu yang disukai dan dipercayai. Selain itu kebebasan dalam berdemokrasi untuk menyampaikan pendapat dapat juga dilakukan melalui media massa sehingga pesan atau informasi yang dikirimkan dapat menjangkau publik yang lebih luas.

Kehidupan demokrasi di Indonesia setelah era reformasi memang menunjukkan perkembangan yang relative lebih pesat di bandingkan dengan Negara tetangga di kawasan ASEAN, bahkan di Myanmar demokrasi sengaja dimatikan dengan membatasi ruang gerak, menahan tokoh oposan dan mematikan para pengunjuk rasa. Gambaran tentang kemajuan demokrasi Indonesia senada dengan yang dikemukakan oleh Anwar Ibrahim mantan Wakil Perdana Menteri Malaysia yang mengatakan bahwa kemajuan demokrasi Malaysia sangat tertinggal jauh di banding dengan Indonesia, itu terlihat dengan dijaminnya kebebasan berpendapat dan tidak dikungkungnya media massa oleh pemerintah (Suara Merdeka, 17 November 2007)

Kondisi tersebut diatas pada substansinya memberikan pemaknaan bahwa sebagai sebuah Negara Indonesia memberikan kebebasan seluas-luasnya kepada setiap warga Negara untuk menyampaikan pendapat dan kritik, serta berperan serat aktif dalam kehidupan demokrasi. Kondisi seperti inilah yang ditangkap dan menjadi peluang bagi sebagian masyarakat yang memiliki ketertarikan dalam dunia politik dan demokrasi. Dalam perkembangannya peluang tersebut melahirkan banyak sekali individu dan kelompok masyarakat untuk membentuk media atau organisasi politik sebagai sarana berpartisipasi aktif dalam demokrasi.

Perkembangan politik dan demokrasi di Indonesia sangat signifikan, hal tersebut terlihat dari banyaknya jumlah partai politik yang didirikan pasca reformasi. Partai-partai tersebut didirikan dengan tujuan untuk sebanyak-banyaknya menjaring dan mendapatkan simpatisan politi sehingga semakin menegaskan kedudukan, eksistensi serta kiprah parati dalam dunia demokrasi dan politik di Indonesia.

Respon dan antusiasme yang tinggi dari masyarakat Indonesia tersebut semakin mendapatkan tempat yang tepat untuk berkembang ketika pemerintah mengeluarkan kebijakan tentang pemilihan langsung kepala daerah dengan dikeluarkannya Undang Undang No. 32/2004 tentang Pemerintahan Daerah, pemilihan paket pasangan kepala daerah yang akan dilaksanakan langsung oleh rakyat. Kondisi seperti ini dimana pemilihan umum yang diselenggarakan secara langsung dalam era multi partai telah menjadi ajang kompetisi terbuka bagi para kontestan dalam adu tawar memenagkan kepercayaan rakyat (Wibawanto, 2006, 2).

Realitas politik dalam dukungan massa yang besar menjadikan dunia politik sebagai ranah yang sangat menjanjikan untuk memperkuat eksistensi. Kemampuan partai politik dalam menmikat massa dan menjadikan sebagai simpatisan yang loyal menjadi tolok ukur keberhasilan sebagai partai politik atau personal politik. Dalam konteks ini yang kemudian berkembang adalah wacana tentang strategi paling jitu untuk dapat menarik sebnayak-banyaknya pengikut sehingga partai akan menjadi besar serta memiliki posisi tawar politik yang kuat. Strategi tersebut dapat dikembangkan dengan memadupadankan berbagai pendekatan seperti marketing, komunikasi, sosial dan budaya. Di Negara-negara maju, penerapan prinsip-prinsip marketing telah meluas ke luar institusi-institusi bisnis. Di Amerika Serikat ahli-ahli pemasaran sangat terlibat dalam persaingan memperebutkan kursi presiden atau parlemen. Jelas sekali bahwa marketing telah menerobos ranah-ranah baru yang secara tradisonal bukan dianggap area marketing (Nursal, 2004, 6)

Dalam prakteknya banyak sekali politikus yang menerapkan dan menggunakan pendekatan marketing dalam memasarakan organisasi politik. Berbagai elemen dihitung, diprediksikan serta dianalisis dengan harapan akan menghasilkan efektifitasnya yang tinggi berupa peningkatan jumlah pemilih dan anggota yang loyal. Oleh para akademisi diproyeksikan bahwa konsep political marketing tersebut akan berkembang sangat pesat di Indonesia hal tersebut dikarenakan sistem multipartai yang memungkinkan siapa saja boleh mendirikan partai politik dan-konsekuensinya- menyebabkan persaingan tajam antar partai politik. Konsep yang di gagas oleh Nursal (2006:9) tersebut memberikan sebuah gambaran kondisi dan suasana politik menyebabkan tingginya kompetisi karena banyak para pemain yang memperebutkan kelompok pasar yang sama. Dalam kapasitas ini kecerdasan dan kreatifitas partai politik akan sangat menentukan jumlah pasar yang di dapatkan dan mengikatnya menjadi anggota yang setia.

Dalam perspektif ilmu komunikasi kegiatan marketing akan dapat berlangsung sangat efektif ketika didukung dengan aktifitas komunikasi yang cerdas, menarik dan kreatif. Hal tersebut nejadi model yang mencoba menawarkan alternatif kampanye komunikasi model konvensional seperti pengerahan massa basis pendukung partai. Banyak ilmuwan atau bahkan praktisi komunikasi politik mempertanyakan efektifitas dari model komunikasi tersebut. Lebih ekstrem lagi banyak pihak yang menyangsikan karena model tersebut lebih banyak membawa dampak negatif ketimbang nilai positifnya. Model pengerahan massa secara terbuka memungkinkan sekali terjadi konflik fisik antar pendukung partai atau individu politik. Memang tidak semua partai politik memiliki dan menggunakan model tersebut, beberapa partai politik memiliki strategi pemasarn politik yang berfokus pada upaya menciptakan image yang kuat melalui berbagai media komunikasi yang ada. Menurut Wibawanto (2006:7) strategi brand image diikuti dengan upaya melaunching produk-produk yang dianggap khas menandai identitas politiknya. Program dan platform, tokoh dan pencitraannya, gagasan baru dan implementasinya, kegiatan organisasi dan plan aksi, seremoni dan event promosi digelar disana-sini melalui pendayagunaan semua media.

Hampir semua partai politik menggunakan pendekatan brand image untuk mempengaruhi pemilih. Setiap menjelang pelaksanaan pemilu nasional atau lokal, partai politik melakukan aksi komunikasi yang jor-joran dengan asumsi akan semakin meningkatkan popularitas partai dan pencitraan sebagai sebuah partai besar yang kuat. Di televisi atau radio marak muncul iklan politik yang menampilkan figur tokoh politik dan janji-janji parpol yang besar. Di media cetak pun menunjukkan tren yang hampir seragam, halaman-halaman Koran dihiasi dengan iklan politik full colour dengan isi pesan yang tidak jauh berbeda. Selain menggunakan pendekatan iklan layanan masyarakat yang sangat persuasif, beberapa kandidat partisipan politik menggunakan metode pendekatan sedikit berbeda, penggunaan poling hasil riset dan kemudian menampilkannya di media diyakini dapat membangun kepercayaan publik yang tinggi.

Pertanyaan yang kemudian dapat dikembangkan adalah sejauhmana efektifitas dari kegiatan komunikasi tersebut mampu mendapatkan hasil yang maksimal? Apakah kegiatan komunikasi yang dilakukan berhasil secara signifikan membangun pencitraan dan reputasi partai dan individual politik. Hipotesis yang berkaitan dengan kegiatan komunikasi yang intensif akan membangun citra partai perlu dibuktikan kebenarannya. Dalam banyak kasus banyak sekali partai politik yang menggunakan berbagai sarana dan media komunikasi untuk pembangunan citra dan mendapatkan dukungan massa yang besar ternyata tidak terbukti.

Fakta tersebut diatas menunjukkan perlunya bagi organisasi politik untuk dapat mendesain kembali model dan cara komunikasi yang efektif untuk dapat dipergunakan sebagai salah satu cara pembangunan citra. Sebagai organisasi yang mengandalkan pada kepercayaan publik, persoalan citra positif menjadi sebuah keharusan tersendiri. Partai dengan citra yang baik akan mendapatkan simpati dan dukungan politik yang besar, sementara itu partai dengan citra yang buruk relative menjadi partai yang tidak diminati bahkan ditinggalkan oleh publik.

Strategi komunikasi yang dipergunakan oleh partai politik sebaiknya dikembangkan lebih baik lagi, penggunaan media komunikasi konvensional seperti televisi dan koran seharusnya di dukung dengan aktifitas komunikasi lain seperti event marketing dan juga media pendukung lainnya. Salah satu bentuk komunikasi yang diyakini memiliki efektifitas yang tinggi dalam pembangunan citra untuk mendapatkan simpatik dan dukungan publik adalah Corporate Social Resposibility atau tanggung jawab sosial perusahaan. Bentuk komunikasi ini berfokus pada upaya untuk melakukan dan menerjemahkan visi organisasi ke dalam misi sosial yang dimaksudkan untuk mendapatkan persepsi positif dari publik. Seperti yang dikemukakan oleh Bachtiar Chamsyah (2005:94) bahwa kegiatan Corporate Social Responsibility (CSR) pada awalnya hanya bersifat pilantropis yakni sekedar charity namun selanjutnya program-program pemberdayaan tersebut dikemas secara kompeten. Hal ini dilakukan karena di era global dimana sebuah citra diri (brand image) tidak hanya dibangun melalui anggaran iklan atau public relations, tetapi juga ditunjukkan akuntabilitasnya pada kepentingan public. Pada akhirnya diharapkan dunia usaha tergerak melakukan pemberdayaan demi citra diri (brand image) yang positif di mata masyarakat. Di beberapa negara maju, peran CSR bagi perusahaan ternyata cukup strategis dalam menaikkan brand perusahaan tersebut. Hingga dapat menggugah empati perusahaan atas keberadaan di sekelilingnya sekaligus sebagai peningkatan branding corporate.

Meskipun konsep tersebut menyoal relasi CSR dengan kepentingan bisnis, dalam perkembangannya hal tersebut sangat relevan sekali bila ditempatkan dalam konteks pemasaran politik terutama partai politik dan individual politik. Kedua komponen tersebut diatas sangat berhubungan sekali dengan kepentingan citra dan nama baik. Berbagai perilaku komunikasi seharusnya dilakukan sebagai upaya untuk mempercepat perolehan citra baik tersebut yang dalam jangka panjang akan memberi keuntungan berupa bertambahnya anggota dan simpatisan yang loyal.

Karakteristik Corporate Social Responsibility

Konsep tentang CSR sendiri pada dasarnya merupakan komitmen dunia usaha untuk terus menerus bertindak secara etis, beroperasi secara legal dan berkontribusi untuk peningkatan ekonomi, bersamaan dengan peningkatan kualitas hidup dari karyawan dan keluarganya sekaligus juga peningkatan kualitas komunitas lokal dan masyarakat secara lebih luas (Wibisono, 2007, 7). Sedangkan John Elkington mengemukakan konsep 3P (Profit, People dan Planet) yang dituangkan dalam bukunya “Cannibals with Forks, The Triple Bottom Line Twentieth Century Bussines, bahwa jika perusahaan ingin sustain maka perlu memperhatikan 3P, yakni bukan Cuma profit yang dituju namun juga harus memberikan kontribusi positif kepada masyarakat (people) dan ikut menjaga kelestarian lingkungan atau (planet). Konsep lainnya yang menkaji persoalan tentang CSR disampaikan oleh Kotler (2005:3) Corporate social responsibility is a commitment to improve community well-being through discretionary business and contributions corporate resources.

Berbagai pengertian diatas jelas menunjukkan bahwa esensi parktik CSR berfokus pada upaya untuk menunjukkan kepedulian dan komitmen yang tinggi organisasi pada masyarakat luas. Organisasi dalam konsep tersebut tidak haya berfokus pada upaya atau aktifitas untuk mendapatkan keuntungan bisnis semata, tetapi mulai berpikir untuk membangun komitmen dengan lingkungan sekitar dan kelompok yang lebih besar melalui aktifitas bersama memberdayakan masyarakat, memperbaiki kondisi fisik serta bersama-sama mencapai peningkatan kesejahteraan.

Sedangkan CSR bila ditinjau dari aspek manfaat akan memberikan dampak berupa kuatnya citra positif organisasi dimata publik, seperti yang dikemukakan oleh Wibisono (2007:78) bahwa terdapat beberapa keuntungan pelaksanaan kegiatan CSR,

Mempertahankan dan mendongkark reputasi dan brand image perusahaan
Perilaku organisasi yang positif akan mendapatkan banyak sekali manfaat positif bagi organisasi
Layak mendapatkan social license to operate
Kegiatan CSR akan membangun terciptanya sense of belonging masyarakat sasaran CSR terhadap organisasi penyelenggara CSR. CSR diharapkan akan menjadi asuransi sosial (social insurance) yang akan menghasilkan harmoni dan persepsi positif dari masyarakat terhadap eksistensi perusahaan.
Mereduksi resiko bisnis perusahaan
CSR merupakan upaya investatif yang dapat menurunkan resiko bisnis perusahaan, dengan meminimalisasi munculnya konflik dengan stakeholder karena ekspektasi yang tidak terpenuhi.
Membentangkan akses menuju market
CSR dapat membuka peluang untuk menuju pasar yang lebih besar, termasuk di dalamnya akan memupuk loyalitas dan menembus pangsa pasar yang baru.
Memperbaiki hubungan dengan stakeholder
Implementasi program CSR akan menambah frekuensi komunikasi dengan stakeholder sehingga menciptakan kesempatan untuk pembangunan trust dengan stakeholder.

Sedangkan Gurvy Kavei dalam Pambudi (2006:24) mengungkapkan bahwa praktik CSR melahirkan lima keuntungan utama bagi organisasi (1) profitabilitas dan kinerja finasial yang lebih kokoh; (2) Meningkatkan akuntabilitas dan assessment komunitas investasi; (3) mendorong komitmen karyawan karena mereka diperhatikan dan dihargai; (4) Menurunkan kerentanan gejolak dengan komunitas; (5) mempertinggi reputasi dan corporate branding. Pernyataan Kavei tersebut sebanding dengan hasil riset SWA atas 45 perusahaan selama Juni-Desember 2005 yang tergambar dalam table manfaat sebagai berikur,

Tabel
Manafaat Pelaksanaan Kegiatan CSR

No.Manfaat Persentase
1 Memelihara dan meningkatkan citra perusahaan 37,38
2 Hubungan yang baik dengan masyarakat 16,82
3 Mendukung operasional perusahaan 10,28
4 Sarana aktualisasi perusahaan dengan karyawannya 8,88
5 Memperoleh bahan baku dan alat-alat produksi perusahaan 7,48
6 Mengurangi gangguan masyarakat pada operasional perusahaan 5,61
7 Lainnya…13,55
Sumber Riset SWA, 2005

Kegiatan CSR yang dilakukan dengan baik akan mendapatkan hasil yang sangat memuaskan, dalam artian tujuan untuk pembangunan citra berupa persepsi dan penilaian positif akan diperoleh relatif lebih mudah di dapat dari segenap stakeholder yang terkait. Untuk mendapatkan hasil maksimal dari pelaksanaan kegiatan CSR menurut Ananto (2005) perlu dilakukan dengan memperhatikan prinsip sebagai berikut :

Terprogram
Bahwa pada intinya kegiatan CSR ini merupakan bentuk komitmen lembaga atau organisasi dengan publiknya dimana kegiatan CSR menjadi saran untuk bersama-sama mengatasi persoalan-persoalan publik
Terarah
Kegiatan CSR merupakan kegiatan yang Terintegrasi kedalam rencana perusahaan dalam jangka panjang bukan kegiatan insidental yang dimunculkan untuk merespon persoalan publik yang muncul saat itu
Teranggarkan
Anggaran kegiatan CSR masuk dalam Rencana Anggaran Pendapatan dan Belanja Organisasi
Terditeksi
Kegiatan CSR terarah kedalam salah 1 pilar kegiatan sehingga akan menjadi lebih fokus dan mencapai hasil yang lebih efektif
Terevaluasi (dapat diukur keberhasilannya)
Terakreditasi (dapat meningkatkan ‘brand’)
Ada NILAI yang dapat dirasakan

Sedangkan Sulistyaningtyas (2006) mengemukakan bahwa CSR dalam sebuah aktivitas menjadi sebuah rangkaian yang sistematik yang diturunkan drai visi dan misi organisasi, sensitivitas budaya organisasi, lingkungan dan operasionalisasi organisasi. Dimana kesemuanya itu dalam kerangka mewujudkan harmonisasi antara aspek manjerial dan public yang terlibat dengan organisasi tersebut. Aspek yang mendasari terwujudnya aktivitas CSR adalah inti dari organisasi, pembuat kebijakan, proses manajemen dan aktifitas yang komprehensif. Kerangka dari implementasi CSR idealnya diejawantahkan dalam sebuah perencanaan yang strategis dan dipahami oleh berbagai pihak dalam organisasi atau familiar, kemudian dipetakan dalam berbagai program, pada akhirnya dilaksanakan dengan strategi komunikasi yang tepat agar sesuai dengan tujuan program CSR tersebut. Pada sisi yang lain diharapkan agar tidak pernah melewatkan tahap monitoring dan evaluasi.

Berdasarkan situs (http://audentis.wordPublicrelationss.com/2005/10/08/140/) pelaksanaan Program CSR dapat dibagi dua, yaitu :
1) Program Pengembangan Masyarakat (Community Development/CD)
2) Program Pengembangan Hubungan/Relasi dengan publik (Relations Development/RD)
Sasaran dari Program CSR (CD & RD) adalah:
1) Pemberdayaan SDM lokal (pelajar, pemuda dan mahasiswa termasuk di dalamnya);
2) Pemberdayaan Ekonomi Masyarakat sekitar daerah operasi;
3) Pembangunan fasilitas sosial/umum,
4) Pengembangan kesehatan masyarakat,
5) Sosbud, dan lain-lain.

Sesungguhnya substansi keberadaan CSR adalah dalam rangka memperkuat keberlanjutan perusahaan itu sendiri di sebuah kawasan, dengan jalan membangun kerjasama antar stakeholders yang difasilitasi perusahaan tersebut dengan menyusun program-program pengembangan masyarakat sekitarnya. Atau dalam pengertian kemampuan perusahaan untuk dapat beradaptasi dengan lingkungannya, komunitas dan stakeholder yang terkait dengannya, baik lokal, nasional, maupun global. Karenanya pengembangan CSR ke depan seyogianya mengacu pada konsep pembangunan yang berkelanjutan (Sustainability development).
Prinsip keberlanjutan ini mengedepankan pertumbuhan, khususnya bagi masyarakat miskin dalam mengelola lingkungannya dan kemampuan institusinya dalam mengelola pembangunan, serta strateginya adalah kemampuan untuk mengintegrasikan dimensi ekonomi, ekologi, dan sosial yang menghargai kemajemukan ekologi dan sosial budaya. Kemudian dalam Proses pengembangannya tiga stakeholders inti diharapkan mendukung penuh, di antaranya adalah; perusahaan, pemerintah dan masyarakat.
Dalam implementasinya, diharapkan ketiga elemen di atas saling berinteraksi dan mendukung, karenanya dibutuhkan partisipasi aktif masing-masing stakeholders agar dapat bersinergi, untuk mewujudkan dialog secara komprehensif. Karena dengan partisipasi aktif para stakeholders diharapkan pengambilan keputusan, menjalankan keputusan, dan pertanggungjawaban dari implementasi CSR akan di emban secara bersama. Tapi dalam hal memandang dan menyikapi CSR ke depan, sesungguhnya perlu ada kajian dan sosialisasi yang serius di internal perusahaan dari semua departemen di dalamnya. Paling tidak untuk menyamakan persepsi di antara pelaku dan pengambil kebijakan di dalam satu perusahaan, karena perubahan paradigma pengelolaan perusahaan yang terjadi saat ini, baik ditingkat lokal maupun global, tidak serta merta dipahami oleh pengelola dan pengambil kebijakan di satu perusahaan sehingga pemahaman akan wacana dan implementasi CSR beragam pula, dan otomatis akan mengalami hambatan-hambatan secara internal perusahaan.


CSR Untuk Pembangunan Citra Partai Politik

Tanggung Jawab Sosial Korporasi atau organisasi dapat dijabarkan kedalam berbagai bentuk oleh masing-masing partai politik. Hal tersebut tergantung dengan tujuan organisasi, orientasi politik dan image yang ingin dibentuk di mata masyarakat luas. Pelaksanaan kegiatan CSR dalam partai politik dapat membidik kelompok publik internal atau eksternal. Aktifitas tentang pelaksanaan kegiatan CSR haruslah tertuang dalam perencanaan dan pemrograman kegiatan partai politik, serta tercakup dalam RAPB Organisasi. Semua aturan tentang kegiatan CSR haruslah dipilah berdasarkan ruang lingkupnya. Mengacu pada definisi CSR yangtelah diungkapkan sebelumnya bahwa kegiatan CSR Partai Politik tidak jauh berbeda dengan kegiatan yang dilakukan oleh organisasi profit. Substansi yang perlu diperhatikan bahwa pelaksanaan kegiatan CSR harus menghidari kegiatan yang bertema karitas dimana sifatnya yang hanya sesaat dan bertujuan untuk memenuhi kebutuhan yang mendesak dalam masyrakat (Rusfadia, 2006, 43)

Selain itu kegiatan CSR yang dilakukan oleh partai politik jangan berfokus pada kegiatan yang sifatnya filantropi, tetapi lebih pada upaya untuk dapat menciptakan kegiatan yang memiliki sifat berkelanjutan dan memberikan manfaat yang tinggi kepada masyarakat luas. Partai politik dapat memilih kegiatan CSR yang membantu untuk dapat mensukseskan pembangunan berkelanjutan dengan memilih sektor-sektor yang berhubungan dengan masyarakat luas.

Seperti gagasan yang dikemukakan oleh Edi Suharto (2006:54) partai politik dapat melakukan kegiatan CSR dengan fokus pada pembangunan sosial yang dilakukan melalui dua pendekatan, yaitu

1. Pendekatan Individu
Pendekatan ini menganggap bahwa kesejahteraan akan meningkat apabila individu dalam masyarakat berusaha meningkatkan kesejahteraan mereka sendiri, dimana peran partai politik dapat dipergunakan untuk membantu individu beraprtisipasi secara efektif dalam ekonomi pasar. Parati politik dapat menyelenggarakan kegiatan-kegiatan yang berfokus pada upaya untuk memberikan keahlian bagi para individu sehingga mampu menciptakan usaha sendiri dan memperoleh manfaat dari aktifitas tersebut. Inti dari kegiatan ini adalah kemampuan dari partai politik untuk mendorong terciptanya semangat wiraswata, pengembangan usaha kecil dan peningkatan keberfungsian individu.

2. Masyarakat Lokal
Sedangkan dalam pendekatan ini kegiatan CSR dalam dilakukan dalam bentuk pembangunan sosial dimana keberhasilan pembangunan ditentukan oleh masyrakatnya itu sendiri. Dalam kapasitas ini partai politik dapat melakukan kegiatan-kegiatan yang berfokus pada pemberdayaan masyarakat dengan menggunakan pendekatan partisipatif dimana masyarakat lokal diminta untuk menyelesaikan permasalahan lokal, serta dapat berfokus pada kegiatan yang mengusung tema gender dan upaya untuk meningkatkan peran serta aktif perempuan dalam pembangunan.

Pada saat menentukan dan memilih kegiatan CSR yang akan dilakukan partai politik perlu menentukan kegiatan yang mengacu kepada Visi dan Misi partai, dimana penetapan visi akan memberikan gambaran tentang manfaat daripada kegiatan tersebut kedapannya bagi partai, sedangkan visi sendiri lebih kepada upaya untuk menjelaskan latar belakang partai melaksanakan kegiatan tersebut. Visi menginformasikan pada khalayak luas tentang partai dan relevansinya dengan kegiatan CSR.

Langkah berikutnya adalah menetapkan tujuan pelaksanaan kegiatan CSR, dimana tujuan ini akan mendeskripsikan mengenai apa yang akan dilakukan oleh partai politik dan kapan kegiatan tersebut diproyeksikan akan selesai, setalah itu dilakukan dengan menetapkan kebijakan tentang bentuk kegiatan CSR yang akan dilakukan yang mengacu pada bentuk Community Development Tau Relationship Develepoment, atau dapat pula mengacu pada CSR dengan pendekatan individu atau masyarakat. Hal penting lainnya yang perlu dilakukan adalah menyediakan SDM yang mendukung, dimana SDM tersebut harus memiliki kualifikasi berupa pengetahuan yang luas, karakter yang baik dan loyal, semangat kerja yang tinggi, inisiatif, proaktif dan kraetif.
Menurut Wibisono (2006:133) yang diadaptasi dari Natural Resources Canada berikut adalah rekomendasi program CSR yang dapat dilakukan oleh partai politik dalam pembangunan reputasi.

No
Bidang-Bidang CSR
Program Yang Bisa Dilakukan
1 Komunitas dan Masyarakat Luas
· Filantropi
· Kajian Dampak Sosial
· Program Pengembangan masyarakat
· Pemantauan HAM
· Program Penduduk Setempat
· Program Respon Darurat
· Latihan Kepekaan cultural
2 Program Lingkungan
· Pelatihan Manajemen Daur Ulang
· Program Efisiensi Sumber Daya
· Program Manajemen Emisi (Udara, air, tanah)
· Program Energi Alternatif
3 Program Komunikasi dan Pelaporan
· Memasukan data kontribusi sosial ke laporan tahunan
· Membuat laporan tentang tanggung jawab sosial organisasi


Sedangkan alternatif lain bidang yang dapat dipilih dalam pelaksanaan kegiatan CSR meliputi

No
Bidang-Bidang CSR
Program Yang Bisa Dilakukan
1 Sosial
· Pendidikan/Pelatihan
· Kesehatan
· Kesejahteraan Sosial
· Kepemudaan
· Penguatan Kelembagaan
· Gender
· Keagamaan
· Budaya
2 Ekonomi
· Kewirausahaan
· Pembinaan UKM
· Agribisnis

· Pembukaan Lapangan Kerja
· Sarana dan Prasarana Ekonomi
· Usaha Produktif
3 Lingkungan
· Penggunaan Energi secara efisien
· Pengendalian Polusi
· Penghijauan
· Pelestarian alam
· Pengembangan ekowisata
· Penyehatan Lingkungan
· Perumahan dan pemukiman

Setelah merencanakan bentuk kegiatan CSR yang akan dilakukan, mengimplementasikan dan mengevaluasi kegiatan, tahapan penting yang perlu dilakukan adalah mengkomunikasikan kepada khalayak luas. Hal tersebut perlu dilakukan sebagai salah bentuk untuk membangun persepsi positif public terhadap aktifitas yang dilakukan partai politik. Seperti yang diungkapkan Sulistyaningtyas (2006) bahwa berbagai program yang didesain oleh organisasi termasuk program kampanye sosial, menjadi asset pembentuk reputasi, dimana kegiatan ini dibentuk untuk mengubah perilaku masyarakat yang berakar pada isu-isu sosial yang ada di masyarakat. Dalam proses kampanye sosial beberapa hal yang perlu dilihat dan diperhatikan lebih serius dapat ditinjau dari berbagai hal seperti (1) input bagaimana produk kampanye tersebut didistribusikan (2) Output bagaimana produk tersebut dipergunakan (3) Outcome, melibatkan pengukuran efek akhir dari komunikasi. Substansi dari hal tersebut diatas mengarah pada satu kesimpulan bahwa persepsi public terhadap produk kampanye sosial dalam bentukm CSR akan berimplikasi pada organisasi pembuat produk tersebut, tidak di dasarkan pada pesan program kampanye itu saja, namun lebih kepada proses yang melibatkan segala unsur yang dimiliki oleh obyek tersebut.

Kesimpulan

Perkembangan politik dan demokrasi di Indonesia memberikan angin segar bagi sebagian besar masyarakat yang memiliki ketertarikan di di dunia politik, ditambah dengan sistem multipartai menciptakan memberikan peluang bagi terciptanya kompetisi antar partai untuk menarik dan mendapatkan pendukung sebanyak-banyaknya. Banyak partai politik yang menggunakan model komunikasi yang sifatnya konvensional seperti pengerahan massa besar-besar serta pawai politik. Model komunikasi tersebut oleh sebagian besar masih dipertanyakan efektifitasnya. Dalam konteks ini penting bagi partai politik untuk dapat mengemas komunikasi dalam bentuk yang relatif lebih unik, menarik serta mempunyai nilai dan manfaat yang tinggi. Salah satu bentuk kegiatan komunikasi yang dapat dilakukan adalah dengan menggunakan pendekatan corporate social responsibility. Kegiatan yang masuk dalam aktifitas public relations diyakini mampu menjadi alat paling ampuh untuk pembangunan citra partai. Partai politik dapat memilih bentuk kegiatan CSR yang berfokus pada Community Develepment atau Relations Development. hal yang terpenting dan perlu diperhatikan adalah kegiatan CSR harus memiliki semangat berkelanjutan, terprogram atau terencana serta mendukung pembangunan nasional berkelanjutan. Pelaksnaan kegiatan CSR harus dikelola oleh SDM yang memiliki kompetensi dan karakter yang baik sehingga mampu menghasilkan kegiatan CSR yang benar-benar memberikan manfaat kepada publik berupa peningkatan kesejahteraan atau kepada organisasi berupa penguatan citra atau reputasi. Proses mendapatkan reputasi positif partai politik dilakukan dengan mengkomunikasikan kegiatan CSR melalui aktifitas kampanye komunikasi sosial dalam skala yang lebih luas.
Daftar Pustaka

Kotler, Philip, 2005. Corporate Social Responsibility, Wiley, New Jersey

Saktiyanti, Rusfadia, 2006. Seri Philanthropy Research Award Menilai Tanggung Jawab Sosial Televisi, Ford Foundation, Jakarta

Nursal, Adman, 2004. Political Marketing Strategi Memenangkan Pemilu Sebuah Pendekatan Baru Kampanye Pemilihan DPR, DPD, Presiden, Gramedia Pustaka Utama, Jakarta

Wibawanto, Agung, 2006. Panduan Strategi Menang Pilkada, Pondok Edukasi, Bantul

Wibisono, Yusuf, 2007. Membedah Konsep dan Aplikasi CSR, Fascho Publishing, Gresik

…, 2006. Investasi Sosial, PUSEPNSOS Latofi Enterprise, Jakarta

Sulistyanigtyas, Ike Devi, Jurnal Ilmu Komunikasi Volume 3 Nomor 1, Juni 2006, Program Studi Ilmu Komunikasi FISIP Universitas Atmajaya Yogyakarta

http://audentis.wordPublicrelationss.com/2005/10/08/140

Suara Merdeka, 17 November 2007
[1] Staf Pengajar Jurusan Ilmu Komunikasi FISIP Universitas Diponegoro Semarang

MANAJEMEN REPUTASI BIROKRASI PELAYANAN PUBLIK INDONESIA

MANAJEMEN REPUTASI BIROKRASI PELAYANAN PUBLIK INDONESIA

Oleh : Agus Naryoso[1]

Abstrak

Reputasi birokrasi layanan di Indonesia menunjukkan hal yang sangat buruk, hal tersebut terlihat dari banyaknya opini publik dan persepsi yang negatif dari masyarakat. Penyebabnya lebih banyak berasal dari rendahnya tanggung jawab dan ketidakmampuan bekerja secara professional. Dalam kapasitas ini pemerintah perlu melakukan pembenahan untuk mendapatkan reputasi yang lebih baik. Hal tersebut dapat dilakukan dengan memperbaiki kualitas sumber daya manusia, mengidentifikasi kultur, nilai lebih dan komitmen serta mengkomunikasikannya kepada publik. Model komunikasi dapat dilakukan dengan memanfaatkan public relations dengan pendekatan secara internal melalui kegiatan hubungan dengan karyawan, atau menggunakan media massa cetak atau elektronika untuk menjangkau khalayak yang lebih luas melalui iklan layanan masyarakat

Kata Kunci : Opini Publik, Reputasi, Public Relation

Abstract

The reputation of Indonesia bureaucracy has been very poor. It can be seen from numbers of public opinion and people’s negative perception. This is due to the staff’s lack of responsibility and professionalism. In this condition, government need to manage the whole system in order to achieve better reputation. It can be done by improving human resources’ quality, identify, the culture, value, commitment, and communicate it to the public. The communication model can be done by using public relations internally through staff relationships, using printed and broadcast media to cover larger public through public service advertising.

Keyword : Public Opinion, Reputation, Public Relations

Pendahuluan

Memperbincangkan birokrasi pelayanan pemerintah Republik Indonesia memang tidak akan pernah ada habisnya. Banyak cerita yang bisa diungkap dari berbagai aktifitas pelayanan aparat pemerintah. Cerita tersebut sebagian ada yang bermakna positif, tetapi lebih banyak yang bernada negatif. Buruknya pelayanan pemerintah tidak hanya berada pada level bawah pemerintahan seperti di tingkat kecamatan dan kelurahan, tetapi juga berada pada level tinggi seperti pada instansi atau departemen yang berada di pusat-pusat pemerintahan atau provinsi di hampir seluruh wilayah nusantara.

Substansi persoalan yang dihadapi oleh hampir semua masyarakat tentang akses layanan birokrasi pemerintah Indonesia memiliki sejumlah kemiripan. Masyarakat seringkali mendapatkan perlakuan yang sangat tidak profesional dari aparat pemerintah yang dalam memberikan pelayanan publik. Ketidakprofesionalan birokrasi pemerintah tersebut dapat dinilai dari indisipliner, pengetahuan yang rendah, rendahnya loyalitas dan kemampuan komunikasi serta buruknya kompetensi menangani keluhan.

Persoalan rendahnya kedisiplinan aparat terlihat dari banyaknya aparat pemerintahan yang bekerja di lingkungan pemerintah bekerja tidak tepat waktu, mereka datang tidak tepat pada jam kerja tetapi para aparat tersebut bisa memulai bekerja sesuai dengan keinginan dan mood masing-masing. Betapa kita akan menemukan pemandangan yang tidak mengenakkan pagi hari menjelang kerja, dimana dalam memberikan pelayanan aparat malah sibuk membaca, merokok sembari ngobrol atau ber-gosip diantara pegawai perempuan. Sepertinya budaya ini menjadi perilaku yang seragam diberbagai tenpat. Tidak hanya itu saja bahkan ada beberapa yang sengaja tidak datang dan melayani tepat waktu padahal sudah banyak orang yang menunggu untuk mendapatkan pelayanan. Anehnya tidak ada sedikitpun rasa penyesalan dan permintaan maaf yang diberikan dari petugas tersebut kepada sejumlah masyarakat yang telah menunggu cukup lama.

Sedikit realitas tersebut menggambarkan betapa buruknya birokrasi pelayanan di Indonesia. Selain rendahnya tingkat kedisiplinan gambaran tentang buruknya birokrasi di Indonesia juga terlihat dari rendahnya kompetensi dari masing-masing aparat pada saat memberikan pelayanan publik, tidak jarang kita menemukan seorang aparat yang tidak memiliki cukup pengetahuan praktis dalam memberikan penjelasan tentang hal tertentu kepada masyarakat yang mengakses layanan pemerintah, aparat tersebut akan memberikan jawaban sekenanya bahkan jawaban tersebut terkesan sangat tidak rasional dan tidak ‘nyambung’ dengan pertanyaan yang diajukan. Ketika masyarakat pengakses layanan mencoba menayakan lebih detail tentang hal tersebut paling baik akan dijawab dengan menyodorkan buku petunjuk operasional, dimana kita diminta untuk membaca, memahami bahkan menginterpretasikan tersendiri maksud informasi tersebut yang disajikan dalam bahasa pemerintahan yang tidak gampang dipahami oleh masyarakat awam.

Sangat mengerikan lagi akan ditemukan ketika kita mengakses layanan pemerintah yang melibatkan masyarakat dalam jumlah yang tinggi seperti di pusat pelayanan kesehatan. Pemandangan raut muka yang ketus, bicara yang keras dan kata-kata yang pedas seolah-olah menjadi hal yang sangat biasa dari seorang petugas pelayanan publik di bidang kesehatan tersebut. Hal tersebut adalah pemandangan yang sangat ironis ketika idealnya petugas pelayanan seharusnya memberikan pelayanan secara lebih sabar manusiawi dan meng-orang-kan orang. Bahkan lebih buruk dari itu banyak sekali petugas pelayanan pemerintahan memberikan perlakuan yang sangat deskriminatif terhadap sebagian orang, dalam pelayanan kesehatan mereka yang terlihat berlatar belakang ekonomi menegah ke atas akan diberikan pelayanan yang sangat berbeda dibandingkan dengan mereka yang tidak mampu. Bagi masyarakat respon dan perlakuan tersebut harus diterima dengan keikhlasan yang terpaksa. Ali-alih posisi tawar yang rendah dengan tingkat kebutuhan pelayanan yang tinggi membuat hampir sebagian besar manut dan tidak banyak yang melakukan protes lebih-lebih perlawanan.

Selain di tempat tersebut seringkali kita juga menemukan pengalaman serupa di kantor-kantor kecamatan, kelurahan hingg ke kantor yang mengurusi urusan pelayanan catatan sipil dari akte kelahiran, surat kematian hingga ke urusan pencatatan pernikahan. Di kantor pemerintahan terendah seperti kelurahan kita akan menemukan kebebasan dari petugas untuk memungut tarif dari setiap tanda tangan dan stempel yang diminta oleh masyarakat dengan berbagai urusan kepentingan, dan perilaku tersebut berjenjang secara seragam sampai ke level kecamatan. Bagi masyarakat yang meminta layanan cepat dengan jalur khusus akan dilayani tentunya dengan tarif tertentu yang akan masuk kepada kantong-kantong pribadi pegawai pemerintah tersebut. Bahkan mereka bersedia memberikan layanan yang lebih personal dengan menjemput dan mengantarkan pesanan ke rumah pemesan ketika yang memesan terlihat berasal dari golongan mampu.

Bagi masyarakat kecil hal tersebut mungkin tidak menjadi persoalan yang cukup berarti ketika disatu sisi diimbangi dengan kemampuan pelayanan yang baik, profesional dan ramah. Tetapi hal tersebut tidak dapat dengan mudah ditemukan, disisi yang lain masih banyak petugas di tingkat bawah tersebut menunjukkan pelayanan-peleyanan yang kurang mengesankan. Sebagian masih terkesan setengah hati, malas memberikan pelayanan dan terkesan mendahulukan kepentingan yang sifatnya lebih pribadi dan mengesampingkan pelayanan publik. Banyak sekali kita menemukan aparat yang menghabiskan jam kerja dengan belanja di pasar tradional bahkan memanggil penjaja sayur keliling untuk masuk ke kantor.

Sepertinya para aparat birokrat tersebut perlu memahami dan mendefiniskan kembali makna birokrasi seperti yang diungkapkan Menurut Peter M. Blau (2000:4), birokrasi adalah “tipe organisasi yang dirancang untuk menyelesaikan tugas-tugas administratif dalam skala besar dengan cara mengkoordinasi pekerjaan banyak orang secara sistematis”. Poin pikiran penting dari definisi di atas adalah bahwa birokrasi merupakan alat untuk memuluskan atau mempermudah jalannya penerapan kebijakan pemerintah dalam upaya melayani masyarakat.

Konsepsi tentang makna dan arti penting tentang birokrasi tersebut diatas memberikan penekanan sangat pentingnya peran dan profesionalisme aparat dalam memberikan pelayanan kepada masyarakat luas. Birokrasi akan berhasil ketika aparat pemerintah memiliki kesediaan dan kesadaran yang tinggi untuk melakukan dan melaksanakan pekerjaan dengan baik. Pembicaraan mengenai buruknya perilaku aparat birokrasi menggambarkan pula buruknya citra birokrasi di Indonesia, sebagian besar aparat telah keliru dan salah mengartikan makna dan esensi birokrasi itu sendiri. Birokrasi tidak dipandang sebagai sebuah tujuan untuk memudahkan pemahaman dan pelaksanaan sebuah kebijakan publik, tetapi malah dipergunakan sebagai alat untuk mencapai kebijakan tersebut. Alhasil banyak sekali aparat yang berkreasi sendiri dengan birokrasi selama memudahkan lebih-lebih memberikan banyak sekali keuntungan, berupa pungutan-pungutan liar dan insentif karena kemudahan pelayanan yang diberikan oleh pihak ketiga.

Seperti yang diungkapkan Heppy Susanto bahwa Birokrasi menjadi sarang penyamun bagi beberapa oknum yang berupaya memanfaatkan sistem ini. Birokrasi telah menjadi “terali besi” (iron cage) yang membuat pengap kondisi bangsa kita akibat ulah para “penjahat berbaju birokrat”. Praktek untuk mempergunakan birokrasi sebagai alat untuk memperkaya diri sendiri menjadi citra yang sangat kuat melekat dalam birokrat Indonesia. Korupsi menjadi identitas yang sangat mudah ditemukan dalam perilaku birokrat di tingkat atas sampai bawah. Budaya ini bahkan tidak dilakukan secara tertutup bahkan telah menggejala sebagai perilaku yang dilumrahkan setiap kali berurusan dengan penyelenggara birokrasi Indonesia.

Pernyataan tersebut diatas sangat tepat sekali mewakili penilaian dari sebagain besar masyarakat Indonesia tentang sistem birokrasi pelayanan. hal tersebut membentuk citra tersendiri yang terbangun dari berbagai pengalaman-pengalaman individual masyarakat saat berinteraksi dengan birokrasi pelayanan. Menurut Soemirat dan Ardianto (2003) bahwa citra adalah kesan yang diperoleh berdasarkan pengetahuan dan pengertiannya tentang fakta-fakta dan kenyataan. Dalam konteks ini pandangan dan sikap masyarakat yang terkadung apriori, pesimis dan cenderung berprasangka menggambarkan realitas citra birokrat Indonesia. Sikap dan penilaian tersebut terbangun atas perlakuan yang tidak adil, respon yang berlebihan, sikap arogan dan deskriminatif serta rendahnya kualitas birokrat pada saat memberikan pelayanan publik. Sikap pada dasarnya terbangun dari opini publik yang berkembang di masyarakat. Menurut Soemirat (2003) dalam Effendy opini publik adalah efek komunikasi dalam bentuk peryataan yang bersifat kontroversial dari sejumlah orang sebagai pengekspresian sikap terhadap permasalahan sosial yang menyangkut kepentingan umum. Jadi opini publik muncul di masyarakat karena ada persoalan yang menyangkut kepentingan bersama.

Perbincangan publik mengenai perilaku birokrat Indonesia dalam memberikan pelayanan berkembang menjadi opini publik yang sangat kuat. Dalam banyak tempat dan kasus masyarakat tidak berhenti memperbincangkan dan mengevaluasi setiap tidakan aparat birokrat, bahkan tidak sedikit diangkat menjadi tema-tema dalam diskusi publik yang lebih luas. Lebih tegas lagi penggambaran bagaimana Hal tersebut dalam konteks komunikasi akan menentukan seperti apa citra dan reputasi birokrat Indonesia.

Munculnya opini publik tersebut didorong serta dilahirkan oleh beberapa hal yang berkaitan dengan pengalaman menikmati hubungan dengan birojrasi di Indonesia. Abelson dalam Kasali menyebutkan bahwa opini mempunyai unsure molekul opini, yakni (1) belief (kepercayaan tentang sesuatu) (2) attitude (apa sebenarnya yang dirasakan seseorang) (3) Perception (persepsi) (Soemirat, 2003). Dari konsep tersebut dapat diinterpretasikan dalam realitasnya sangat kuat sekali kepercayaan yang tertanam dalam masyarakat Indonesia tentang bagaimana aparat tersebut bekerja dengan berbagai isu yang berkembang disekitarnya. Banyak sekali masyarakat yang malas berhubungan langsung dengan pemerintah, mereka lebih memilih menggunakan jasa perantara ketika berhubungan dengan layanan pemerintahan meskipun harus membayar lebih mahal, disatu sisi hal seperti ini menimbulkan efek domino yang sangat negatif, selain tidak adanya harmonisasi antara birokrat dengan masyarakat, juga menyuburkan perilaku kolusi di tubuh instansi pemerintahan, alhasil kepada mereka yang membawa keuntungan tersendiri akan dilayani khusus, di dahulukan ketimbang yang lain. Bahkan lebih menakutkan lagi sekarang di kalangan masyarakat sudah terbangun persepsi yang sangat kuat tentang birokrat disertai dengan kebencian dan upaya untuk menghindari sedikit mungkin berinteraksi dengan birokrat.

Public Relations Untuk Pembangunan Reputasi

Citra dan reputasi memiliki peranan yang sangat penting bagi organisasi. Citra yang baik akan menentukan keberhasilan organisasi, begitupun dengan reputasi yang positif, dimana dengan reputasi yang positif akan semakin memperkuat posisi organisasi dalam kaitannya dengan kelompok stakeholder yang relevan. Harmonisasi antara organisasi dengan publik akan memunculkan berbagai macam keuntungan yang signifikan. Reputasi terbangun dari bagaimana publik mempersepsikan organisasi. Reputasi sendiri seperti yang dikemukakan oleh Noeradi (2006) adalah apa yang diingat oleh masyarakat tentang organisasi kita, dan hal-hal yang mereka kaitkan dengan organisasi kita, reputasi adalah jembatan jembatan yang terbentang antara organisasi dengan stakeholdernya, Reputasi menerjemahkan masa lalu serta masa kini kita, dan tindakan-tindakan yang hendak kita lakukan untuk dijadikan sinyal-sinyal informasi yang mudah dipahami oleh bahasa setiap stakeholder.

Sedangkan terdapat definisi lain yang menyoal tentang reputasi, A corporate reputation is a cognitive representation of a company’s ability to meet the expectation of its stakeholder (Bahwa reputasi melingkupi segenap pengetahuan dan sikap serta keinginan dari stakeholder tentang organisasi) reputasi berakar dari persepsi yang muncul dan tergambrakan karena ada pengalaman dan nilai yang berkembang. Untuk memberikan pemahaman tentang reputasi birokrasi pelayanan di Indonesia berikut disajikan diagram yang menerjemahkan tentang pengertian tersebut diatas.

Perception by
About by
• Customers
• Investors
• Employees
• Cuppliers
• Analysts Media
• Regulators

• Performance
• Products
• Services
• Activities
• Employees
• Organization

Penerjemahan tentang reputasi birokrasi pelayanan di Indonesia mencakup aspek bagaimana customer dalam hal ini adalah masyarkat yang berhubungan dengan kegiatan layanan birokrasi memberikan penilaian tentang performance aparat seperti kepribadian, integritas, loyalitas, kejujuran dan disipilin dalam melakukan tugas dan tanggung jawabnya melayani publik. Selain itu reputasi dalam pengertian tersebut mencakup segenap peniliaian dari seluruh unsur kelompok publik atau stakeholder yang memiliki keterkaitan dengan organisasi dalam hal ini akan menentukan reputasi oragnisasi akan dipersepsikan positif atau negatif serta baik atau buruk. Reputasi merupakan paradigma baru yang berkembang dalam kajian ilmu public relations, dimana fokus dari reputasi mencakup aspek penilaian dari publik yang lebih luas tidak hanya berasal dari kelompok publik tertentu saja. Sedangkan dalam pengertian yang lain berikut ini akan digambarkan bagaimana citra terbentuk sehingga menghasilkan respon perilaku publik dalam skema model pembentukan citra pengalaman mengenai stimulus oleh Soemirat dan Ardianto (2003:115)


Model Pembentukan Citra
Pengalaman Mengenai Stimulus


Kognisi

Stimulus Persepsi Sikap Respon
Perilaku
Motivasi

Perilaku respon merupakan gambaran citra nyata dari publik tentang organisasi, terbentuknya respon tersebut distimulasi oleh berbagai faktor internal dan eksternal dari individu. Stimulus tersebut membangun penilaian, pengetahuan, sikap serta motivasi yang melatarbelakangi seseorang berpikir dan melakukan sesuatu. Dalam kondisi seperti stimulus menjadi komponen yang menentukan keberhasilan pengelolaan perilaku dan respon public terhadap organisasi. Penciptaan stimulus dapat dilakukan dengan menciptakan pengalaman yang mengesankan dalam benak publik atau stakeholder tentang organisasi.

Publik seperti yang dikutip dari Iriantara (2004) Diterjemahkan sebagai sasaran khalayak komunikasi atau yang sering disebut dengan stakeholder. Stakeholder seperti yang ditulis Whelen dan Hunger (1995:61) adalah kelompok-kelompok yang memiliki kepentingan dengan aktifitas organisasi, dan karena memiliki kepentingan, maka kelompok tersebut mempengaruhi dan dipengaruhi oleh pencapaian tujuan perusahaan. Sedangkan Rhenald Kasali (1994:63) mengemukakan bahwa kelompok yang berada di dalam maupun di luar organisasi yang mempunyai peran dalam menentukan keberhasilan organisasi. Dari beberapa pengertian diatas jelas menunjukkan bahwa publik dari pemerintah yang memberikan layanan birokrasi memiliki peran yang sangat penting dalam praktek penyelenggaraan pemerintahan di Indonesia. Pemerintah dalam hal ini akan mencapai keberhasilan dan performance yang baik ketika mampu menjalin hubungan yang harmonis dengan publik, baik itu publik internal atau publik eksternal.

Kemampuan menjalin relasi yang baik dengan baik akan mempermudah pencapaian reputasi bagi organisasi kedepannya, oleh sebab itu penting bagi organisasi pemerintah untuk mengelola dengan baik reputasi organisasi itu sendiri, reputasi perlu dikelola dengan baik, masih menurut Poluszeck dalam Noeradi (2006) mengingatkan tentang multifungsi reputasi ‘We recognize the reputation can be enhance our good image, differentiator, to differentiate our organization, or accelerator for business results, that is to accelerate our competitive advantage’ bahwa secara keseluruhan reputasi dapat membangun pencitraan yang sangat baik bagi organisasi serta mampu memberikan keuntungan bagi organisasi. Reputasi positif birokrasi di Indonesia akan melahirkan banyak sekali keuntungan, salah satunya adalah tingginya tingkat kepercayaan publik pada organisasi pemerintahan. Kepercayaan publik tersebut menjadi modal berharga bagi aparat birokrasi sehingga mereka dapat bekerja lebih baik dan menghasilkan produktifitas yang tinggi.

Terdapat lima hal utama yang menjadi fokus dalam pengelolaan reputasi
Memberi lebih banyak informasi
birokrat perlu memiliki inisiatif yang tinggi untuk menyampaikan informasi secara terus menerus untuk setiap kebijakan yang diputuskan kepada segenap publik yang relevan sehingga tidak akan menimbulkan salah pengertian atau penerimaan yang salah
Memberi informasi yang isinya konsisten
isi informasi yang disampaikan idealnya mempunyai konsistensi yang tinggi di semua lini birokrasi, perlunya ada koordinasi dan komunikasi sehingga pesan yang disampaikan akan memiliki keseragaman dan tidak menimbulkan kebingungan
Menyederhanakan bunyi informasi
Informasi yang disampaikan perlu dikemas dan disajikan dengan lebih sederhana sehingga mudah dipahami dan dinterpretasi oleh khalayak yang heterogen
Memastikan bahwa informasi kita mencapai stakeholder yang dituju
Perlu dipastikan dan dievaluasi apakah pesan yang disampaikan secara efektif mencapai khlayak yang dituju serta mampu dipahami dengan baik.

Hal tersebut senada dengan fungsi Public Relations pemerintah yang dikemukakan oleh Ruslan (1998:325) bahwa tugas pokoknya meliputi (1) Mengamankan kebijakan pemerintah (2) Memberikan pelayanan, dan menyebarluaskan pesan atau informasi mengenai kebijaksanaan dan hingga program-program kerja secara nasional kepada masyarakat (3) Menjadi komunikator sekaligus sebagai mediator yang proaktif dalam menjembatani kepentingan instansi pemerintah di satu pihak dan menampun aspirasi, serta memperhatikan keinginan-keinginan publiknya di lain pihak.

Dalam pengelolaan reputasi terdapat indikator-indikator yang perlu diperhatikan sehingga akan menghasilkan efektifitas yang tinggi

Key Reputation Atributes
(Identified by Focus Group)
Familiarity
Knowing the company or its products well
Creating Value
Producing High Quality Product
Providing Value for Money
Operational Capability
Being well run
Efficient and Productive
Carring about the employess
Corporate Citizenship
Proven Track Record
Good use of assets
Leadership Management
Having CEO with vision
Communicating Value
Appeal
Being like stakeholder
Credibility
Standing behind in practice
Noeradi (2006)

Sedangkan dalam temuan penelitian tentang pengelolaan reputasi terdapat beberapa 10 indikator utama pembentuk reputasi organisasi yaitu

Quality of Product and Service
Financial Soundness
Abbility to Attract, develop and retaint talent
Quality of Management
Social Responsibility (Society, environment, community)
Innovativeness
Long term invesment values
Ability to cope with changing economic environment
Use of corporate assets
Strong and consistent profit performances

Informasi tersebut menunjukkaan sebuah temuan yang menarik, dimana dari penilaian sejumlah responden menempatkan bahwa kualitas produk dan pelayanan menjadi faktor utama yang mempengaruhi reputasi organisasi. Dalam artian kualitas pelayanan yang diberikan oleh petugas front liner atau aparat birokrat yang melayani langsung konsumen menentukan baik buruknya penilaian terhadap oragnisasi tersebut. Dalam kapasitas dan konteks ini organisasi pemerintahan perlu memiliki kepekaan yang tinggi untuk dapat memberikan pelayanan yang terbaik kepada masyarakat. Fokus utama untuk meningkatkan kualitas layanan dapat dilakukan dengan meningkatkan kompetensi dan keahlian professional aparat pemerintah sehingga bisa memberikan pelayanan yang terbaik.

Roger Haywood (1994) dalam bukunya Managing Your Reputation mengemukakan bahwa untuk mendapatkan reputasi yang baik diperlukan individu yang terbaik serta mampu memberikan pelayanan dan memiliki keahlian serta karakteristik sebagai berikut,


Temperament
Petugas pelayanan harus memiliki kemampuan komunikasi yang baik, mempunyai tanggung jawab yang tinggi, dinamis dan mempunyai daya kreasi dan inisiatif tinggi
Commitment
Petugas adalah pribadi yang terbuka, ramah mempunyai interpersonal skill serta berorientasi pada tujuan organisasi
Brief
Petugas memiliki kemampuan untuk memberikan laporan tentang kemajuan tugas dan layanan serta memiliki kemampuan untuk menghandle komplain
Training
Petugas pelayanan harus memiliki sikap yang dan motivasi bekerja yang tinggi didukung dengan kemampuan komunikasi lisan dan tertulis

Manajemen Komunikasi

Reputasi positif relatif akan mudah diperoleh ketika petugas yang berhubungan langsung dengan masyarakat mampu menerapkan secara konsisten kompetensi yang dimiliki, penerapan tersebut akan menjadi pengalaman berharga pembentuk stimulasi yang menghasilkan persepsi, kognisi, sikap dan motivasi dalam berinteraksi dengan birokrasi. Fokus dari upaya pembangunan reputasi dilakukan dengan membekali kemampuan komunikasi yang baik petugas ketika menjalankan pekerjaannya. Komunikasi akan menciptakan kesan yang mendalam sehingga menghasilkan respon perilaku yang positif.

Selain memperbaiki kinerja aparat yang bertugas di lini depan, upaya pembangunan reputasi dapat dilakukan dengan melakukan perbaikan secara internal dengan mengidentifikasi beberapa hal yang relevan dan terkait dengan penciptaan reputasi organisasi, untuk memberikan pemahaman akan disajikan dalam gambar berikut ini

Corporate
Reputation

Corporate
Advertising

Employee
Relations

Public
Relations

Community
Relations

Supplier
Relations

Favorable
Media

Good Credit
Rating

Familiarity

Analysts
Recommend

Attractive
Jobs

Sales

Productivity

Profits

Morale

Risk
Corporate
Practices
•Identity
•Culture
•Ethics


Proses manajemen reputasi dilakukan dalam beberapa tahapan, dimana pada masing-masing tahapan memiliki nilai filosofis tersendiri. Tahapan tersebut perlu dilakukan secara berurutan sehingga akan mencapai hasi efektifitas yang tinggi. Tahap pertama dalam pembangunan reputasi dilakukan dengan mengidentifikasi berbagai karakter yang menjadi keunggulan dan memiliki nilai tersendiri organisasi. Karakter tersebut dapat diketahui dari identitas yang membedakan dengan organisasi lainnya. Identitas menjadi pembeda dengan organisasi sejenis. Biasanya identitas perusahaan nampak dari atribut yang digunakan oleh para aparat birokrat pada saat memberikan pelayanan atau bertugas. Atribut tersebut meliputi uniform dan fisik gedung tempat pelayanan. lembaga penyelenggara pemerintah dapat menggunakan identitas ini untuk membangun citra yang kuat dan menghidari stereotip negatif karena pengalaman individual yang pernah ditemui, seperti perlakuan buruk aparat dan juga tempat pelayanan yang tidak nyaman.

Corparate Practise dapat diidentifikasi dari kebiasaan, sikap atau perilaku dari aparat birokrat, untuk mencapai reputasi, aparat birokrat dapat menonjolkan perilaku birokrat yang simpatik, etik dan menunjukkan respon yang positif kepada masyarakat. Hal tersebut akan memberikan efek yang sangat tinggi dalam membangun persepsi dan penilaian positif publik. Perilaku aparat perlu diarahkan pada upaya untuk dapat melayani masyarakat dengan baik. Hal tersebut senada dengan paradigma birokrasi yang memberikan kemudahan dalam pelaksanaan kebijakan publik. Dalam konteks public relations perilaku aparat tersebut dapat menjadi budaya organisasi tersendiri yang perlu dikomunikasikan ke publik secara luas, strategi komunikasi untuk sosialisasi budaya perusahaan tersebut dapat menggunakan berbagai model dan media komunikasi yang ada.

Untuk mencapai efektifitas yang tinggi dan menjangkau khalayak yang lebih luas organisasi dapat menggunakan media komunikasi dalam bentuk corporate advertising, dimana iklan ini dapat dilakukan dalam bentuk iklan layanan masyarakat yang memiliki orientasi untuk membangun tingkat pengetahuan yang tinggi masyarakat luas terhadap aktifitas, prosedur, kebijakan yang dikeluarkan oleh pemerintah. Corporate Advertising ini dapat ditayangkan dan di muat di media massa elektronika atau di media massa cetak. Sedangkan untuk menjangkau kelompok publik internal dalam hal ini birokrat sebagai pelaksana kebijakan kegiatan komunikasi dapat dilakukan dalam bentuk employee relation seperti in house training atau dapat juga melalui majalah internal yang dikenal dengan in house journal. Penggunaan kedua media tersebut diharapkan mampu mengedukasi kelompok publik internal sehingga keduanya memiliki pengetahuan yang baik, kesadaran untuk bekerja secara professional, serta pelaksanaan tugas yang berorientasi pada kepentingan masyarakat secara lebih luas.

Untuk mendukung keberhasilan pembangunan reputasi, perlu bagi organisasi pemerintahan untuk menjalin relasi yang baik dengan media massa. Kebijakan dan juga budaya organisasi yang positif dapat diinformasikan secara lebih luas melalui media massa. Kegiatan yang dikenal dengan publisitas ini memiliki nilai dan kredibilutas yang sangat tinggi karena ditulis oleh pihak ketiga yang lebih netral dalam hal ini jurnalis perusahaan media massa. Bila dikembalikan dalam konteks pembangunan citra seperti yang dikemukakan oleh Soemirat dan Ardianto (2003) akan menjadi stimulasi yang sangat positif sehingga memunculkan penilaian, sikap, motivasi dan kognisi yang baik dan memunculkan perilaku yang lebih kooperatif dari publik terhadap organisasi. Publisitas media dapat diarahkan agar dapat disajikan sebuah tulisan yang mengangkat keberhasilan, kegiatan positif, pelaksanaan kerja yang menarik serta berbagai prosedur dan kebijakan yang memberikan keuntungan bagi masyarakat.

Prosedur pembangunan reputasi yang dilaksanakan dan diimplementasikan secara baik dan konsisten akan memberikan dampak psikologis di kalangan publik internal atau publik eksternal. Pengaruh psikologis tersebut akan memunculkan sikap dan penilaian yang positif sehingga terbangun reputasi organisasi yang kuat, tangguh dan sangat baik.

Penutup

Reputasi birokrasi pelayanan di Indonesia berada pada penilaianyang sangat buruk, hal tersebut dikarenakan banyak sekali aparat pemerintah sebagai pelaku birokrasi kerapkali menunjukkan sikap dan gaya bekerja yang tidak professional. Ketidakmampuan aparat birokrasi tersebut menerjemahkan dan melaksanakan fungsinya dengan baik mengakibatkan buruknya penilaian masyarakat kepada layanan birokrasi pemerintahan. Kondisi tersebut memunculkan sikap negatif publik terhadap pemerintah. ketidakmampuan pemerintah membangun relasi yang harmonis dalam skala yang lebih luas memberikan pengaruh terhadap apatisnya masyarakat dan rendahnya dukungan masyarakat terhadap kebijakan yang dikeluarkan oleh pemerintah. kondisi ini kerapkali mengakibatkan program atau kebijakan pemerintah menjadi tidak popular dan kuran mendapat respond an simpatik publik.

Buruknya reputasi pemerintah perlu dibangun dengan dimulai mendefinisikan kembali makna dan esesni dari pada layanan birokrasi itu sendiri, selain itu upaya untuk mengembangkan dan mendapatkan reputasi yang baik dilakukan dengan memperbaiki sistem dan membangun kesiapan pelaksana birokrasi untuk dapat melayani masyarakat dengan baik dan memiliki kompetensi yang dapat diandalkan. Fokus diarahkan pada upaya untuk membekali skill birokrat dengan kemampuan komunikasi yang baik serta pengetahuan yang baik.

Langkah lain yang dapat dilakukan untuk membangun reputasi dapat dilakukan dengan mengidentifikasi karakter dan budaya perusahaan yang dapat dikembangkan, selanjutnya dikomunikasikan secara intensif kepada masyarakat yang lebih luas atau kelompok publik yang menjadi sasaran komunikasi. Pembangunan reputasi dapat dilakukan dengan menggunakan bantuan media massa untuk dapat menulis dan menyajikan berita yang positif tentang layanan birokrasi pemerintah. kesemua aspek tersebut jika dilaksanakan dan diterapkan dengan baik akan menciptakan reputasi yang positif dan mengesankan tentang birokrasi layanan pemerintah.

Daftar Pustaka

Iriantara, Yosal. (2004) Manajemen Strategis Public Relations, Ghalia Indonesia, Bandung

Haywood, Roger (1994) Managing Your Reputation, McGraww Hill Book Company, London

Noeradi, Wisaksono (2006) Memahami Liku Liku Reputation Management, PERHUMAS, Jakarta

Ruslan, Rosady (1998) Manajemen Humas dan Komunikasi, Raja Grafindo Persada, Jakarta

Soleh Soemirat dan Elvinaro Ardianto (2003) Dasar-Dasar Public Relations, Remaja Rosda Karya, Bandung

http://www.transparansi.or.id/majalah/edisi18/18berita_2.html



[1] Staf Pengajar Jurusan Ilmu Komunikasi FISIP Universitas Diponegoro